Modernis.co, Malang – Pada awalnya, ekonomi dan agama tidak terpisah. Ahli ekonomi adalah pula pendeta dan ahli agama. Ilmu ekonomi, seperti halnya ilmu-ilmu lain, tidak terlepas hubungannya dengan nilai-nilai moral kemanusiaan.
Meskipun sejarah mencatat, sejarah revolusi industri di Eropa Barat yang diikuti oleh sistem produksi massal. Para ahli ekonomi memisahkan kajian ilmunya dari agama. Akan tetapi pada akhirnya, mereka menyadari bahwa meniadakan hubungan kajian ekonomi dengan nilai-nilai moral kemanusiaan adalah suatu kekeliruan besar dan tidak bertanggung jawab dalam upaya menjaga keselamatan manusia dan alam semesta.
Kesadaran tersebut tumbuh, setelah bangsa-bangsa didunia merasakan ketidakpuasan model pembangunan yang bertolak dari paham kapitalisme dan paham Marxisme. Memang setiap aliran pemikiran memiliki pendekatan kajian ekonominya masing-masing sesuai dengan nilai dan pandangan sebagaimana tercermin dari perilaku ekonomi manusia-manusia pengikutnya.
Faham-faham ekonomi yang berkembang tersebut tidak terlepas dari falsafah dasar dan budaya masyarakatnya, yaitu nilai-nilai yang menjadi kerangka acuan dan menjadi ruhnya faham-faham tersebut.
Model-model pembangunan berdasarkan faham-faham tersebut menghasilkan kemiskinan di tengah-tengah kemakmuran, materialisme, dan konsumerisme, penekanan dan kerakusan, ketimpangan dan ketidakadilan, gaya hidup yang sekuler dan bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Kesadaran baru yang muncul dewasa ini, mendorong upaya pemikiran tentang paham ekonomi baru yang bertumpu pada asas yang lebih dasar dan handal dalam menjaga seluruh kemanusiaan dan alam semesta. Yaitu, paham yang tidak terbebas dari nilai-nilai, yaitu nilai-nilai yang khusus yang bersumber pada pencipta alam semesta.
Dalam Islam, pendekatan ekonomi Islam mewarnai tingkah laku para pemeluknya, karena ilmu ekonomi adalah sebagian saja dari ilmu agama Islam. Pendekatan Islam dalam ekonomi mengacu pada falsafah segitiga yaitu, Tuhan, Manusia dan Alam/Lingkungan, dimana Tuhan yang Maha Esa berada di puncak segitiga, lalu manusia dan kekayaan alam semesta/lingkungan hidup masing-masing berada di sudut-sudut dasarnya, dan keduanya tunduk dan taat kepadanya, (QS.An-Nahl ayat 10-15).
Falsafah segitiga diatas menurun ke dalam doktrin-doktrin yang menjadi orientasi dasar ekonomi islam. Ada empat doktrin yang dapat dikemukakan sebagai orientasi dasar Ekonomi Islam, yaitu. 1, Tuhan yang Maha Esa, pencipta segala makhluk. 2, Alam semesta/bumi adalah milik Allah swt dan tunduk kepadanya. 3. Iman kepada hari pengadilan. 4. Amal shaleh.
Doktrin pertama, menjelaskan bahwa salah satu hasil ciptaan Allah adalah manusia yang berasal dari substansi yang sama, dan sama-sama memiliki hak dan kewajiban sebagai khalifah Allah di muka bumi. Di mana alam semesta beserta isinya ini, flora, dan fauna ditundukkan sebagai sumber manfaat ekonomis bagi umat manusia.
Oleh sebab itu, manusia yang satu dan yang lain dan golongan satu dan yang lain menjalin kerjasama dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, dan menjalin kerjasama dan tolong menolong dalam kesusahan. Pada hakikatnya, manusia itu diberi cobaan mengenai pribadi dan hartanya.
Doktrin kedua, menjelaskan bahwa segala yang di langit dan di bumi dan kekayaan alam yang ada didalamnya adalah milik allah semata. Manusia hanyalah sebagai pemegang amanat Allah yang hanya mempunyai hak memanfaatkan, mengelola, dan memelihara kekayaan itu sesuai dengan hukumnya.
Manusia juga diwajibkan mengelola dan memelihara kekayaan alam ini sebaik-baiknya dan dilarang melakukan kerusakan di muka bumi ini, karena alam semesta ini milik Allah SWT yang diperuntukkan manusia seluruhnya bukan untuk sekelompok perorangan.
Doktrin ketiga, menyangkut keimanan terhadap hari pengadilan, yaitu yang berpengaruh terhadap tingkah laku ekonomi manusia menurut horizon waktu. Seorang muslim yang melakukan aksi ekonomi tertentu akan mempertimbangkan segala akibat perbuatannya di hari kemudian.
Lebih lanjut, dalam doktrin ini terkandung asas keseimbangan perilaku antara kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan perorangan dan umum, termasuk pertumbuhan dan pemerataan, kesederhanaan, dan tidak berlebih-lebihan adalah pernyataan dari perilaku kehidupan ekonomi yang moderat/seimbang.
Doktrin keempat, adalah amal shaleh atau kerjasama ekonomi, yang berisi nilai-nilai instrumental dalam ekonomi islam. Nilai-nilai instrumental ini meliputi: a, kewajiban berzakat. b, pelarangan riba. c, usaha bersama. d, sedekah dan jaminan sosial. e, peranan negara.(Sri Bintang Pamungkas, Edisi Kedua, hal:16-17).
Ekonomi Kerakyatan
Kita bandingkan falsafah pancasila dengan falsafah segitiga Tuhan, Manusia dan Alam/Lingkungan. Bahwa dalam Sila-sila pancasila juga bisa digambarkan dalam sebuah falsafah segitiga. Sila pertama pancasila, ketuhanan Yang Maha Esa, mencerminkan dimensi spiritual.
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ketiga, persatuan indonesia, menyatakan dimensi sosial kultural sebagai pernyataan eksistensi manusia, kemanusiaan dan hubungan manusia bangsa dan dunia. Sila keempat, yang menyatakan dimensi sosio-politik dan sosio-ekonomi sebagai pernyataan kebutuhan duniawi dan kebutuhan fisik manusia terhadap alam dan lingkungannya.
Ketiga dimensi tersebut berhubungan erat satu sama lain. Dalam memenuhi kebutuhan fisiknya didunia manusia diharuskan menghubungkan semua segi kehidupannya dengan Allah SWT. Karena itu, jelaslah bahwa falsafah pancasila dan falsafah dalam ekonomi syariah/islam adalah sama, tidak ada pertentangan sama sekali di dalamnya.
Doktrin Ekonomi Indonesia
Doktrin ekonomi indonesia juga muncul dari falsafah pancasila. Doktrin ekonomi ini merupakan bagian dari UUD 1945 dan muncul dalam beberapa pasal UUD 1945. Pasal-pasal tersebut sebagai sub-system tidak terlepas dari pasal lain, khususnya pasal 29, yang berbunyi:
1. Negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa. 2, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Serta pasal-pasal HAM dan pasal 27-34 tentang ekonomi indonesia.
Doktrin ekonomi indonesia ini sesungguhnya sama dengan doktrin ekonomi Islam, sama sekali tidak ada perbedaan dan pertentangan satu sama lain. Pasal 33 di atas menjelaskan bahwa, perekonomian disusun dalam suatu kerangka kerja sama yang harmonis antara berbagai usaha yang hidup dalam perekonomian, berdasarkan common interest bukan self interest.
Dalam perekonomian tidak ada persaingan bebas (free fight) yang tidak seimbang. Tetapi yang ada adalah persaingan sehat berupa perlombaan untuk mencari yang terbaik dan bermanfaat bagi semua pihak. Usaha yang satu saling menunjang yang lain, dan merupakan bagian dari yang lain. Yang besar menopang dan mendorong yang kecil agar tumbuh besar, dan yang kecil membantu yang besar.
Seluruhnya menjadi usaha bersama yang besar untuk mensejahterakan bersama, tidak ada sesuatu perusahaan yang maju dan menjadi besar sendiri meninggalkan usaha-usaha yang kecil. Semua berhubungan, keterkaitan dan interdependen. (Sri Bintang Pamungkas, Edisi Kedua, Hal:21-22).
Dengan demikian bahwa, sistem atau pandangan ekonomi syariah atau Islam adalah compatible/relevan dengan falsafah dasar negara dan masyarakat Indonesia itu sendiri. karena memang, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beraneka ragam budaya dan agama, sehingga menjadikan agama-agama sebagai sukma, nilai atau pandangan hidup ketika berinteraksi dalam bermasyarakat dan bernegara di Indonesia ini.
Oleh karena itu, Umat Islam Indonesia seharusnya mensyukuri adanya antara lain pasal 33, 34 dan 27 ayat-ayat UUD 1945, dimana Muhammad Hatta adalah advokator atau inisiator utamanya, yang menempatkan nilai-nilai dan perjuangan Islam dapat secara strategis memperoleh posisi imperatif konstitusionalnya.
Lebih lanjut, Sri Edi Swasono menegaskan bahwa ekonomi pancasila bisa dikatakan sering dan selaras dengan apa yang sering diungkapkan sebagai ekonomi islam, keduanya compatible meskipun tidak sepenuhnya substitutable, dengan kata lain ekonomi pancasila selaras dengan nilai islam.
Namun compatibility ekonomi Islam terhadap pancasila akan makin surut apabila ekonomi Islam direduksi dan lebih terpusatkan hanya pada upaya membangun bank-bank syariah, seterusnya riba hanya ditinjau dari segi bunga perbankan saja. Lebih lanjut, sukma ekonomi Islam itu serupa dengan pandangan ekonomi Muhammad Hatta, yang menyatakan (tahun 1932) bahwa, “Kemakmuran masyarakat lebih utama daripada kemakmuran orang-seorang”.
Sementara dalam Islam (Piagam Madinah pasal 15 dinyatakan: “Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang lemah”. Keduanya mengandung pemihakan (special favor) yang jelas kepada “masyarakat” (Hatta) atau “kaum yang lemah” (Piagam Madinah), dimana warna nasionalisme pada pandangan Mohammad Hatta tersebut seiring dengan nuansa Islamnya.
Dengan kata lain, bahwa manusia-manusia dalam berinteraksi dan bertransaksi tidak mengutamakan homo economicus, melainkan juga lebih memuliakan homo ethicus yang lebih mengedepankan hubungan antar sesama yang “menjauhi firqah” dan “anti aniaya” (al zhulm) dalam wujud riba, atau tipu muslihat ribawi (gharar) maupun judi (maysir). (Kata Pengantar, Prof.Dr.Sri.Edi Swasono, Guru Besar UI, Kebangkitan Kedua Umat Islam, Jalan Menuju Kemuliaan, Yusuf Effendi, hal xvi-xxii).
Pengertian masa kini ekonomi ialah satu kajian yang berkaitan dengan perilaku manusia dalam menggunakan sumber dayanya untuk memenuhi keperluan mereka. Sedangkan dalam pengertian Islam, ekonomi adalah satu sains sosial yang mengkaji masalah-masalah ekonomi manusia yang didasarkan kepada asas dan nilai-nilai Islam.
Ekonomi Islam seringkali dimasukkan sebagai cabang ilmu yang mempelajari metode memahami dan memecahkan masalah ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam.
Perilaku manusia sebagai komunitas sosial yang didasarkan pada ajaran Islam inilah yang menjadi dasar pembentukan perekonomian Islam itu sendiri. Dengan demikian ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan harta benda menurut perspektif Islam (tadbîr syu’un al-mâl min wijhah nazhar al-islam).
Pandangan Hidup Ekonomi Syariah
Islam datang di dunia ini sebagai petunjuk dengan membawa nilai-nilai spiritual yang datang dari Allah, salah satunya dalam konsep falah yang sebagai dasar tujuan hidup kita di dunia ini. Falah berasal dari bahasa arab dari arti kata Aflaha-yuflihu yang berarti kesuksesan, kemuliaan, atau kemenangan, yaitu kemenangan dan kemuliaan dalam hidup.
Istilah falah menurut Islam diambil dari kata-kata Al-Quran, yang sering dimaknai sebagai keberuntungan jangka panjang, dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek material saja namun lebih ditekankan pada aspek spiritual.
Untuk mencapai tujuan hidup yang sejahtera tadi, ada tiga pokok yang dapat dipahami dan sangat penting untuk direfleksikan dalam aktivitas perekonomian kita mengenai konsep dasar ekonomi dalam pandangan Islam, yaitu adalah falah, lalu maslahah dan permasalahan dalam pencapaiannya.
Falah yang diartikulasikan sebagai kemenangan hidup di dunia dan akhirat baik pada sisi material maupun spiritual. Falah ini memiliki tiga unsur kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan, kekuatan serta harga diri.
Upaya dan ikhtiar yang dijalankan oleh umat manusia di dunia ini dalam pandangan Islam adalah upaya ibadah yang ditujukan untuk pencapaian kemenangan dunia dan akhirat. Sehingga setiap ungkapan, tindakan dan bahkan keyakinannya dijalankan berdasar pada petunjuk sang pencipta yang ditulis dalam kalam suci-Nya, al-Quran.
Adapun Maslahah merupakan dampak positif dari memperoleh falah, yakni kebutuhan yang tercapai secara seimbang, di mana falah ini akan memberikan situasi kebahagiaan, sehingga masyarakat mendapatkan maslahah. Maslahah juga dapat dinilai sebagai kemanfaatan baik material maupun non material yang menjadikan manusia pada keadaan mulia.
Maslahah ini mashur diungkapkan oleh imam asy-Syatibi pada lima hal, agama, jiwa, intelektual, keluarga dan material. Dengan demikian ikhtiar yang dijalankan oleh penduduk berdasarkan pada konsep ini harus senantiasa menimbang pada pencapaian falah yang didasarkan pada unsur maslahah.
Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Ini merupakan pasar yang besar dan potensial bagi perkembangan ekonomi syariah. Dengan demikian, sesungguhnya Indonesia berpotensi dan berpeluang menjadi kekuatan ekonomi syariah terbesar di dunia.
Berbicara tentang ekonomi syariah spektrumnya sangat luas, yaitu segala upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan dasar/pokok (ad dharuriyat), kebutuhan sekunder (al-hajiyat), maupun kebutuhan tersier (attahsiniyat) sesuai dengan prinsip syariah. Pemenuhan kebutuhan hidup tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan produksi, konsumsi, investasi, perdagangan, dan jasa.
Dalam praktiknya, ekonomi syariah mencakup industri keuangan syariah seperti perbankan, asuransi, pasar modal, lembaga pembiayaan, dan sukuk; pariwisata syariah, termasuk di dalamnya hotel syariah, salon dan spa syariah; halal food termasuk bahan pangan, pangan, obat-obatan, kosmetik, dan produk olahan lainnya; pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan laboratorium; lifestyle seperti fashion serta lembaga/instrumen sosial, seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Ekonomi syariah dikembangkan dalam rangka memenuhi (mengakomodasi) kebutuhan masyarakat, khususnya umat Islam yang ingin bertransaksi, berinvestasi, dan memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan prinsip syariah (sharia compliance).
Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk bermuamalah sesuai syariah, kegiatan ekonomi syariah terutama dalam 20 tahun terakhir tumbuh secara signifikan, baik dari sisi kelembagaan, regulasi, maupun bisnis.
Dari sisi kelembagaan banyak sekali berdiri lembaga keuangan syariah (LKS), mulai dari perbankan, asuransi, reasuransi, lembaga pembiayaan, pasar modal, reksadana, lembaga penjaminan, koperasi syariah, BMT, dan lembaga wakaf. Dan dari sisi kelembagaan ini, Indonesia yang paling banyak dan variatif di dunia.